Setiap orang punya penyesalannya masing masing, kebahagiaannya masing-masing, pencapaiannya masing masing. In my case, saya cukup happy ketika saya bisa membantu orang lain mencapai kesuksesannya dan saya jadi tau dimana value saya dan kemampuan saya. Tapi di umur yang sekian dengan kemampuan sekian ini, saya punya keterbatasan dalam menjadi bagian dari kesuksesan orang lain. Kadang saya menyesal kenapa saya nggak bisa ngelakuin lebih dari ini.
Dengan keadaan keluarga yang sudah jauh beda dari halaman “Kata Orang Hidup Saya Bahagia,” ada cerita lagi di baliknya yang belum pernah saya post karena saat itu nggak relevan dengan halaman itu.
Suatu hari mama saya bercerita, yang sebenarnya cerita ini sudah diulang-ulang waktu saya masih kecil. Setiap lihat warung bebek di pinggir jalan, mama akan inget betapa dulu kakek saya ngajak makan bebek di pinggir jalan tapi mama sebagai anak dengan umurnya yang seharusnya sudah bisa belikan kakek saya, mama saat itu nggak mampu. Akhirnya kakek saya sendiri yang membayar untuk makan bebek saat itu. Lama setelah itu, mama saya sudah bisa hidup lebih dari cukup dan bahkan mungkin saat itu mampu bikin warung bebek sendiri, tapi kakek saya sudah nggak ada. Dan mama selalu menyesal.
Biasanya saya nggak relate dengan cerita itu karena mungkin saya masih terlalu kecil. Tapi belakangan saya bisa relate. Di usia yang sekarang hampir nggak ada hal yang bisa saya accomplish. Saya punya pekerjaan yang nggak bisa saya kontrol, keadaan yang nggak bisa saya kontrol, dalam hidup ini sayang bisa saya kontrol cuma diri saya sendiri. Hampir semua yang mama pengen dalam hidup saya, saya nggak bisa penuhi, tapi tetep aja saya takut menyesal.
Kadang saya berpikir, lebih baik saya mati duluan. Tapi trus saya mikir lagi kalo saya mati duluan, mama papa saya akan sedih atau mungkin ada beban yang harusnya bisa saya bantu tapi karena saya nggak ada, beban mereka jadi lebih bertambah. Tapi sejujurnya saya pun nggak siap kalo mama dan papa saya ninggalin saya duluan, saya nggak akan sanggup hidup lagi kalo nggak ada mereka. Sejauh ini, saya masih hidup juga karena mereka. Jadi saya berharap Allah akan selalu jaga mama papa saya dimanapun mereka berada, bersama saya. Menemani saya sampai kita bertiga sama sama nggak mampu lagi. Let’s not leave each other, even if you have to leave, please bring me with you.
Belakangan ini anxiety dan depresi saya kumat karena banyak trigger, mulai dari keadaan finansial, stress karena banyak hal, umroh yang saya nggak tau gimana harus kontrol, pandemi yang juga nggak bis asaya kontrol, temen temen yang nggak klik sama saya karena keegoisannya mereka yang nggak bisa saya salahkan, saya super tired sama semua ini jadi tadi malem minum anti depresan supaya saya bisa tidur.
Lucunya, banyak banget orang yang ngeliat saya sebagai orang yang menyenangkan dan ditunggu saat lagi ngumpul karena circle saya bisa nyatuin mereka. Tapi…ada berapa dari mereka yang bisa berempati dari apa yang harus saya perjuangkan untuk bertahan hidup? Apa saya juga bisa bergantung sama mereka seperti mereka mengandalkan saya? Apa saat nantinya saya menjadi orang yang tidak menyenangkan dan nggak punya apa-apa yang mereka harapkan, mereka juga akan pergi?
Except my family, I have nothing to lose. Even when my family hate me, I can’t even disown them. I can disown everyone this world, except my family.
Last few days, I’ve been thinking apa saya ini owner travel yang jahat ya. Saat berita muncul, saya nggak langsung share ke banyak orang karena saya sedih duluan ngeliat kondisi umroh saat ini ada minimal usia 18-50 taun. Saya lebih sedih mengingat papa saya udah nunggu ini sampe waktunya pensiun, beliau pengen menikmati masa tua dengan keliling dunia, kenyataannya tepat sebelum papa saya pensiun keluarga saya ditimpa musibah yang bikin kita nggak punya apa-apa, jangankan keliling dunia, aset keluarga aja udah habis dijual.
Rasanya, bersyukur, ikhlas, becanda, ketawa, iman, memudahakan kita semua menjalani hari hari seperti biasanya. Tapi semua itu nggak mengubah realita kalo kita masih ada di musibah yang sama. Pelan pelan sambil merangkak kita mulai berdiri, tapi cobaan dateng lagi. Papa mama sakit dan jadi high maintenace padahal asuransi papa mama udah nggak ada. Kita cuma ngandalin BPJS. Ada di rumah sakit BPJS bikin saya throwback saat saat kita menikmati fasilitas VVIP sebelumnya, dan itu cobaan lagi buat menguji rasa syukur dari apa yang sedang kita hadapi bersama.
Hari ini saya bangun pagi karena ada telepon dari bengkel yang benerin mobil saya sambil info tagihan. I was spontantly thinking,”Cukup nggak ya duitnya buat bertahan hidup? Sampe kapan ya ini cukupnya?” Gimana kalo nggak cukup? Allah pasti bantu kan ya? Pasti akan ada rejeki yang nggak disangka sangka kan ya?
Karena saya pusing berat setelah saya minum anti depresan tadi malem, ditambah nemu invoice, ditambah aturan umroh yang naiknya kayak cita citaku setinggi langit, saya rasanya mau jatuh. Karena iitu saya ambil tensimeter, ternyata hasilnya memang tekanan darah saya rendah banget. Saya hubungi dokter yang juga temen saya, tapi kalimatnya bikin saya nangis lagi,”Kamu makan, tidur, istirahat Mep, itu terlalu rendah. Sabaaaar. Itu nggak bis akamu kontrol. Semua demi kebaikan bersama.”
I was like, bahkan aku ini nggak punya cita cita, aku nggak punya goal, aku nggak punya passion yang fancy, aku cuma hidup dengan seimbang dan baik-baik saja. Tapi menjaga perasaan ratusan jamaah ini gimana..gimana aku bisa berkomunikasi sama mereka menyampaikan berita ini dengan baik baik saja saat saya nggak baik baik aja menerima beritanya?
Saya bingung. Harus memposisikan diri sebagai apa, apakah owner travel, apakah anak yang baik, ato apa? Saya bahkan nggak tau harus ngomong apa sama semua orang. Nggak kayak biasanya, saat ini hal hal jadi jauh di luar perhitungan dan kemampuan saya. Saya tau kita nggak bisa menyenangkan semua orang, tapi bahkan untuk bantu satu orang aja saat ini saya merasa nggak bisa.